Selasa, 29 Maret 2011

menjadi matahari...

aku dan kawanku, dua orang pria di antara hujan di tengah malam.

"hey kawan, kau tau" aku mencoba memulai percakapan.
"rasanya aku ingin seperti matahari, menyinari bumi, memberikan kehidupan, menerangi bulan yang membuatnya indah seperti malam ini" kataku.
"aku juga ingin menciptakan pelangi seiring hujan yang menjauh pergi, membiaskan warna-warna indah sekedar menemani orang-orang yang menikmati kopinya" lanjutku lagi.

entah dia sedang berpikir atau terlalu lelah mendengarkan khayalanku setelah semua percakapan yang cukup melelahkan tadi.


kami sudah cukup lama kenal, mungkin sejak sekolah menengah pertama. dengan sikapnya yang dingin dan tenang, terlihat bijaksana dengan kata-katanya yang bijaksana walaupun kadang dia kekanak-kanakan. aku senang berbincang-bincang dengannya, karena dia selalu punya jawaban yang bijaksana.


"tapi mungkinkah aku bisa menjadi matahari?" tanyaku. "mungkin tidak untuk dunia, bagaimana jika untuk indonesia? atau untuk jakarta? atau untuk Rt 05? hahahahaha." kataku mencoba mencairkan suasana.

dia hanya tersenyum kecil sambil melemparkan tatapannya pada apa saja yang ada di sana. jalan yang basah, daun-daun yang basah, bulan yang basah, dan semua yang terlihat basah tersiram hujan.

"kenapa kau ingin menjadi matahari?" kalimat pertama yang keluar dari mulutnya setelah 15 menit tidak bersuara.

"karena aku ingin berarti, seperti matahari. membiarkan cahayanya dinikmati oleh orang banyak" jawabku. "aku ingin berbagi, memberi, aku ingin bisa berarti untuk orang banyak" jelasku.

"cukup mulia" katanya.

"apakah kau yakin punya sesuatu yang cukup banyak untuk kau berikan kepada orang banyak? sedunia katamu?" pertanyaan yang membuatku cukup lama berpikir untuk menjawabnya.

"mungkin saat ini masih belum cukup, tapi aku akan berusaha mencukupinya" jawabku.

"untuk sedunia?" dia bertanya setelah menghisap rokoknya.

"ya, mungkin tidak untuk sedunia. paling tidak untuk orang-orang disekitarku dulu. kalau aku mampu, baru aku berikan untuk dunia" jawabku agak ragu.

"kalau kau tidak mampu?" tanyanya lagi.

"tidak usah untuk dunia, semampuku saja" jawabku semakin ragu.

"apa yang ingin kau berikan untuk dunia?" partanyaan yang semakin membuatku merasa sedang diinterograsi karena kesalahanku yang memakai sendal adik perempuanku. apakah itu sebuah kejahatan?

"aku ingin berikan apa saja yang aku punya, apa saja yang aku bisa. terutama cinta" jawabku yakin.

"kepada siapa? kepada dunianya atau penghuninya?" lanjutnya.

"keduanya. aku ingin membuat dunia ini menjadi lebih baik, lebih berwarna, lebih bercahaya. dan aku ingin membuat seluruh penghuni dunia merasa bahagia setelah semua bencana yang menimpa mereka. yang ada di Haiti, Ethiopia, di Jepang" dan jawabanku kali ini membuat hatiku bertanya. mampukah aku?

"kau yakin?" pertanyaan yang dia lontarkan sebelum dia meminum habis kopinya.

"sepertinya tidak". dan aku melihat dua gelas kosong di hadapanku, merasa kosongnya gelas itu sama dengan sesuatu yang kosong yang ada di dalam dadaku.

"niatmu tidak salah kawan, bahkan mulia menurutku. mungkin yang salah adalah keinginanmu" katanya. aku mendengarkan dan menunggu apa lagi yang akan dia katakan.

"aku ingat sebuah kalimat yang dituliskan Sutardji dalam ceritanya. jangan berpikir untuk menjadi matahari, kau bahkan menghalangi cahaya matahari yang jatuh kebumi" katanya lagi.

"mungkin kau tidak perlu menjadi matahari, cukuplah jadi dirimu sendiri. kau bisa memberikan semua yang ingin kau berikan terutama cinta kepada orang-orang disekitarmu" katanya melanjutkan.

"selalu ada alasan di balik sebuah penciptaan. mungkin alasan kau diciptakan adalah untuk menyampaikan apa yang memang seharusnya milik mereka. mungkin kau adalah perantara untuk rejeki mereka" lanjutnya lagi.

"mungkin, aku tidak tau pasti. hanya Tuhan yang tau pasti". kata-kata yang cukup bijaksana yang membuatku berpikir, tidak salah aku membicarakan ini dengannya.

aku diam, berpikir dan mencoba menelaah apa yang dia katakan. dan dia terdiam seakan tau aku sedang memikirkan kembali keinginanku.


"sepertinya hujan sudah reda, lebih baik aku pulang sekarang sebelum kantung mata ini semakin membesar" katanya sambil tersenyum memecah keheningan.

"baiklah, sampai bertemu kembali" jawabku.

"terimakasih atas jamuannya" katanya lagi sambil mengeluarkan motornya dan memakai helm.

"sama-sama kawan, terimakasih atas perbincangannya" jawabku menyusul


dan dia pergi seiring hujan yang pergi entah kemana aku tidak memperhatikan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar